Terkadang kita merasa bebas untuk melakukan apa saja karna berada di tempat sepi. merasa tak ada yang menjadi saksi atas apa yang kita lakukan. hanya ada bintang yang bertebaran. tapi sadarkah kita Yang Menciptakan Bintang Maha Tahu Atas Segala Hal?
think before you do it man, :)



Bulan terlihat enggan muncul. Sedari tadi kulihat ia hanya bersembunyi di balik awan. Hanya sesekali dia muncul. Hembus angin yang tak ramah, membuat tubuhku harus berlindung di balik jaket. Sesekali masih kulempar pandangan ke langit, berharap bias menatap bulan penuh. Hamun hingga kayuh sepedah berakhir dirumah, ia masih saja bersembunyi.
Kulihat ibu masih diam khusyu’ di atas sajadah. Kuhela nafas dalam istighfar. Keluarga kami memang tengah mendapat ujian berat dengan apa yang terjadi pada kakak sulungku. Bertahun-tahun kakak mengalami masa sulit dalam perjalanan hidupnya. Mulai dari rumah tangga, bisnis, hingga kondisi jiwanya yang perlahan-lahan mulai menepi pada dunia asing yang sunyi...
Sering tiap pagi aku menyempatkan untuk menemaninya jalan-jalan. Kami berdua selalu menikmati perjalanan itu. Melihat matahari terbit atau menerobos tingginya ilalang yang mendesah tertiup angin. Tak jarang aku bercerita tentang banyak kejadian yang aku alami seharian atau cerita kenangan masa kecil kami. Kulihat kakak yang ada di sampingku, di atas kursi rodanya ia masig setia mendengarkan kisahku di kesunyian jiwanya...
***
Wanita, tahta, dan harta sungguh fotnah yang akan tetap ada sampai akhir dunia. Kakakku menggenggamnya dan ia hancur di dalamnya. Ibu sudah menngingatkan agar kakak berhati-hati dengan semua itu. Qodarullah, Alloh memudahakan kakak meraih semua itu. Merangkak dari bawah, ia meniti semuanya. Sebenarnya tak masalah semua itu. Sebab kami yakin ia bisa mengelola kesuksesannya dengan bijak. Relasinya dengan banyak orang berjalan baik. Sampai pada akhirnya sampai pada sebuah titik yang mengubahnya menjadi sosok ambisius yang tak terkendali. Setiap mimpinya harus terwujud. Sosok wanita yang dipilihnya ibarat arah langkah kakinya. Seluruh hidup kakak dinahkodai sang istri. Tapi anehnya kakak selaru menurut tanpa kata. Mungkin kakak telah siap dengan konsekuensi pilihannya, memang kami bisa melihat ada hal baik dari pernikahannya. Semangatnya menjadi lebih luar biasa dalam bekerja. Setidaknya ada yang membantu memikirkan usahanya. Terbukti usaha kakak makin menjadi...
Manusia takkan pernah merasa puas dengan apa yang dimilliki. Ia dan istri terus mengembangkan sayap usaha. Seribu sayang, mereka mulai menghalalkan segala cara. Tak lagi melihat cara-cara ma’ruf. Aku akhirnya mundur dari usaha kakak. Aku memang selama ini bekerja membantunya sebagai bendahara perusahaan. Namun lama-lama nuraniku berontak dengan cara kakak. Sempat hal itu kusampaikan padanya, tapi ia justru bersikap ketus.
“kamu tinggal diam saja dan terima beres, kau tak usah pikirkan yang lain”.
Aku mendidih dengan kata-katanya. Jawaban yang selalu sama kuterima dan akupun memutuskan pergi dari perusahaan kakak. Ibu mengizinkan, meski sempat khawatir meninggalkan kakak sendiri tanpa pantauan.
Perusahaan kakak akhirnya terpuruk dan terlilit hutang. Di tengah badai bertubi-tubi, terkuak lagi aib yang makin membuat kakak terpuruk. Ternyata istrinya melakukan poliandri, tanpa setahu kakak. Hal itu membuat kakak histeris, ia membanting apa saja yang ad di depannya. Sesaat kemudian ia lunglai di sudut kamar. Pedihnya lagi, kakak menjadi begitu benci ketika melihat anak-anaknya yang masih kecil. Ia menatap wajah bocah-bocah itu penuh selidik.
Sambil sesekali berkata perlahan, “anak siapa kamu? Anak siapa kamu? Anak siapa akamu?” kata-kata itu terus di ulang sambil berjalan kian kemari, hingga membuat anak-anaknya menangis ketakutan. Ibu selalu setia membisikan istighfar di telinga kakak dan menasehatinya.
“mereka anak-anakmu Rid. Cucu ibu dan bapak. Mereka keponakan adik-adikmu. Mereka tak tahu apa-apa. Mereka hanya anak-anak yang tanpa dosa. Jangan kau benci mereka, jangan pula kau sakiti dirimu seperti ini. Ayolah oba kau lihat, mereka begitu lucu dan manis.”
Sesekali kakak menangis dan mendekap mereka. Terkadang bisa terlihat bercanda bersama anak-anak. Seungguh bahagia melihatnya. Dunia bisa dicari oleh siapapun, tapi sebuah kebersamaan belum tentu bisa dimiliki semua orang. Kakak mencoba berjuang menerima semua kegagalan dalam satu waktu. Sayang jiwanya tak pernah bersiap untuk itu. Sesekali ia masih bisa tersenyum dan berkata “ini ayah. Ini ayah, ayah akan menjaga kalian”. Dipeluknya erat boneka panda... Bila sudah begitu, luruhlah airmata orang-orang di rumah...
Sekejappun kami tak ingin kehilangan kakak. Kami selalu menganggap ia ada dan normal. Dengan begitu kami berharap bisa membantunya kembali... Saat makan, saat acara keluarga, saat sholat, kamu lakukan semua itu bersamanya. Sudah hampir dua belas tahun kami melalui semua ini. Kabut hitam masih melingkup. Tapi kami semua tak pernah kehilangn semangat untuk terus menembusnya. Beberapa waktu lalu kami dibuat takjub. Setelah belasan tahun ia membisu dalam dunianya, seusai shalat kakak berguman lirih. Ia menyebut nama ibu. Hanya itu, kemudian ia membisu kembali. Kejutan itu sangat membuat keluarga kami bersemangat. Setidaknya kami tahu, masih ada yang diingatnya dalam kesunyiaanya.
Semoga suatu saat nanti Alloh menghadirkan matahari, agar kabut hitam ini menghilang...
(***)

Majalah sakinah Volume 13, No. 4

Kendaraan yang membawaku pulang ke istana kecilku, perlahan memasuki halaman rumah. Tempat itu serasa seperti surga dunia. Teduh, tentram dan senantiasa berhias keceriaan. Walhamdulillah
Aku menyunting belahan jiwaku hampir tujuh belas tahu silam. Dan hingga hari ini, ia masih saja memberikan pesona untukku. Senyumnya, suaranya yang terdengar penuh kesabaran adalah magnet yang selalu membawaku untuk segera pulang. Berumah tangga dengannya nyaris tak ada pertengkaran. Benar-benar ia wanita yang luar biasa.
Aku sangta bersyukur bertemu dengannya. Betapa tidak henti-hentinya aku bersyukur pada ALLOH. Dua orang tuaku juga seluruh keluarga besarku menyukai sosoknya yang memang lembut dan keibuan. Tak segan ia turun tangan memabntu pekerjaan rumah. Ia jago masak serta membuat kerajinan tangan lain juga menjahit.
Jujur, awalnya dulu aku bertemu dengannya hanya sekadar iseng. Teman-teman kos semasa kuliah sering menggodanya bila ia lewat didepan kos kami sepulang dari kampus. Dan gadis itu hanya berlalu dingin. Namun hal itu yang membuat kami jadi makin penasaran. Bila gadis lain, ibarat kata biasanya mereka langsung jadian setelah beberapa waktu. Tapi yang satu ini dingin luar biasa. Sampai akhirnya teman-teman bosan sendiri menggodanya. Saking konyolnya, bila gadis ini lewat mereka akan berteriak, “es...es...dingin..”. Dan itulah ungkapan hati terdalam teman-teman karena gagal menggodanya.
Begitulah, sampai akhirnya aku bisa mendekatinya karen ban motornya bocor. Kulihat ia menuntun motornya lewat di depan kos. Tak peduli statusku yang kala itu sudah ada yang punya, aku menawarkan bantuan. Tapi, diam-diam aku tersanjung karena bisa mendekati gadis yang selama ini menjadi incaran banyak temanku. Ya, sayangnya hanya sekedar itu. Karena sang gadis hanya sekedar berucap santun atas bantuanku membawa sepeda motornya ke bengkel yang lumayan jauh. Menyesal? Tidak juga... Justru aku menjadi sungkan sendiri karena selama ini berpartisipasi menggodanya. Malu juga rasanya. Sejak itu kau jadi tak enak sendiri bila mengganggunya. Tapi diam diam, aku tetap penasaran. Sekian waktu kemudian aku bisa bertemu dia lagi, saat mempersiapkan skripsi. Kami sempat berbicara sekadarnya. Hanya itu. Dia begitu sangat menjaga diri. Aku menghargai itu. Aku mengatur jarak darinya. Akhirnya aku wisuda setelah mundur dua semester dari yang seharusnya.
Usai wisuda, aku mendapat kerja di luar jawam ikut dengan seorang sepupu. Disana pula aku kenal dengan teman si gadis yang beda angkatan. Aku jadi tahu banyak hal tentang si gadis termasuk alamat rumahnya meski tak detail. Dan hal itu membuatku kembali teringat pada gadis itu. Namun aku tetap belum punya keberanian tentang rasa yang diam-diam kupendam. Jangan salah, duniaku telah lain semenjak semester terahir di kampus. Aku mencoba lahir dengan pribadi baru dengan sesuatu yang lebih baik. Perubahan jasmanidan rohani. Tak peduli dengan ledekan teman-teman yang sibuk mengomentari perubahanku. Aku tetap harus melakukannya, karena aku menyadari telah membuat kesalahan besar dalam hidupku yang seharusnya kuhindari. Aku mulai ikut ta’lim di kajian mahasiswa, sesuatu yang telah lama tak kulakukan. Walhamdulillah, aku menjadi lebih semangat menjalani akhir masa kuliahku. Dan tak ada orang mengira termasuk diriku sendiri, IPK yang kuraih tinggi. Dan aku pun mulai merintis usaha yang Walhamdulillah berprospek cerah dan menjanjikan. Aku juga bisa mempekerjakan teman-temanku untuk membantu kelancaran usahaku. Saat aku keluar jawa, aku pasrahkan usaha itu pada seorang sahabat yang bisa kupercaya. Di luar jawa selain bekerja aku juga melebarkan sayap usaha yang ku rintis saat kuliah.
Cuti tahunan kumanfaatkan untuk pulang ke kampung halaman. Saat otulah tiba-tiba ingin memberanikan diri datang kerumah si gadis di luar kota. Berbekal alamat ala kadarnya, kumasuki halaman sebuah rumah besar yang sangat terawat. Itupun setelah aku sibuk bertanya kesana kemari sebelumnya. Suara tangis bayi yang terdengar dari dalam rumah, sempat menyurutkan langkahku. Jangan-jangan... Ya Alloh Engkau tahu isi hatiku. Aku terkejut ketika lelaki tua menegurku. Rupanya beliau ayah sang gadis atau. Aku begitu lega setelah alamat yang ku tuju ternyata tidak keliru. Kusampaikan maksut kedatanganku seteah duduk.
Beliau bnyak bertanya tentangku dan keluarga. Namun anehnya, sejak aku tiba sampai sekarang beliau sama sekali tidak memanggil si gadis untuk menemui ku, memberitahuku tentang keberadaanya. Teh dan kue di suguhkan oleh pembantu. Tiba-tiba beliau berkata, “kalau kamu serius dengan Farah, bapak izinkan. Tapi bila tiak silahkan pergi.”
Aku tergagap dengan kata-kata yang tak terduga itu. Sungguh dari tadi lidahku kelu, kini mendadak aku punya seribu nyali. Spontan aku menajawab kalau aku sangat serius dengannya.
Hanya selang satu setengah bulan kemudian, aku menikah dengannya. Kusyukuri hingga hari ini keluargaku senantiasa berhias asmara. (***)

Nb. Salam untuk budhe Fa sekeluarga

Majalah Sakinah Volume 13, No.9