Aku kisahkan sebuah cerita
Ini bukan karena ingin membuka aibku sendiri. Tapi aku ingin, orang-orang disekitarku lebih-lebih generasi muda yang seusia dengan ku untuk bisa belajar dari kisahku. Bahwa tidak ada untungnya sedikitpun menyia-nyiakan waktu, umur, juga mas muda kita.
Sebelum telambat, berhenti dan insyaflah, sebelum hal yang lebih buruk menimpamu seperti yang kualami. Nasi memang telah menjadi bubur, daslam sesal aku berusaha bangkit menata hidup yang telah kuhancurkan sendiri.
Hidup dan lahir dari keluarga broken home bukanlah mimpiku. Apalagi bercita-cita lahir dari bapak yang tak jelas. Beruntung ada laki-laki yang mau menikahi Ibu, dan pada akhirnya mau menerimaku dan Ibu apa adanya. Tapi entah setan apa yang memsauki hati Ibu, hingga ia berulah lagi, bermain api dengan laki-laki lain. Meninggalkan Ayah. Meski Ayah tiri, namun dimataku dia begitu baik dan tanggung jawab. Usiaku baru tujuh tahun kala itu, tapi aku bisa merasakan perhatian Ayah tiriku jauh lebih besar dibandingkan Ibu kandungku sendiri.
Pada akhirnya, ibu meninggalakan Ayah sambil membawaku pergi bersamanya. Aku tumbuh salam asuha ibu yang “cacat moral”. Aku tahu betul itu, karena aku selalu pergi bersamanya. Hari ini bertemu pria lain, lain hari ia bertemu pria yang berbeda. Kata ibu, ini temannya. Aku tak ambil pusing, sebab mereka selalu memberiku jajan dan oleh-oleh setiap pulang. Akhirnya saat bertambah dewasa aku sadar bahwa ibuku “beda” dari ibu-ibu yang lain, sayangnya aku telah “tertular” ibu.
Khawatir dengan akhlaqku, nenek dan kakek “menyelamatkanku”. Mereka minta aku tinggal bersama mereka saja. Aku menurut, hubunganku dengan ibu “distop” total. Sebab akhlaq ibu dimata kakek dan nenek sudah kelewat batas. Hobi bohong dan tipu-tipu, suka melawan kakek nenek, dan sebagainya. Namun rupanya usaha kakek nenek bertepuk sebelah tangan. Sudah kubilang aku “tertular” ibu. Meski kakek nenek sudah berusaha mongobati dengan nasehat, “virus” telah menyebar. Awalnya aku hany asembunyi-sembunyi. Akhirnya kau berani ternag-terangan. Memangsih tidak didepan ibu, kakek, nenek, dan keluarga yang lain.
Aku sering membohongi kakek dan nenek tanpa mereka sadari. Meski laporan miring sering sampai ketelinga mereka, tapi mereka lebih percaya padaku. Ya, itulah hebatnya aku, sering bersandiwara dan narik simpati. Kalau perlu agar kakek dan nenek yakin aku sumpah dengan membawa nama ALLOH. Na’udzubillah… Astaghfirullah,.. kelihaianku ini membuat aku dilindungi habis-hasisan bila da yang menyudutkanku. Buka insyaf atau sadar, aku justru semakin menajadi-jadi.
Sejak SMP hingga SMU aku hobimenggelapkan uang SPP dengan berbohong iuran ini dan itu hingga ratusan bahkan jutaan. Uangnya aku gunakan untuk bersenang-senang dan membeli kosmetik majal, baju-baju dan barang mewah yang menunjang penampilanku. Tak cuma itu, aku juga membohongi teman bahkan guruku untuk menarik simpati. Misalnya, dengan berbohong aku tengah sakit ginjal dan kanker. Akhirnya mereka mengumpulkan uang untukku.
Saat om dan bulik-ku tahu, mereka melapor ke kakek dan nenek. Berkat sandiwara dan kelihaianku, kakek dan nenek membelaku. Om dan bulik-ku selalu tahu ulahku. Entah dari mana, hingga aku sebel pada mereka. Tak cum aitu kakek dan nenek jadi benci mereka berkat hasutanku.
Menyesal? Tidak. Kapok? Tidak juga. Bahkan aku berani dalam segala hal termasuk mendekati zina. Sekali pacaran aku bisa dengan dua hingga empat pria, bangga luar biasa diriku. Tak jarang, orang luar yang tahu sepak terjangku, mengirim sms gelap dengan kata-kat menyindirku. Tapi haitu betul-betul mati dan tak puny amta lagi.
Sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Ulah busukku akhirnya sampai pada kakek dan nenek. Pihak sekolah memberikan surat panggiran dan pemberitahuan yang isinya intinya aku dikeluarkan. Alasanya, aku sering membolos bahkan hingga belasan hari, melakukan tindakan amoral dengan lawan jenis. Berbohong pada guru dan teman-teman, tidak membayar SPP hampir setahun, dan berderet-deret kesalahn yang diperoleh pihak sekolah berdasarkan “investigasi” lanpangan terhadapku.
Malu? Ya aku akui itu apalagi namaku cukup tenar disekolah, lebih-lebih setelah kasus ini muncul. Kakek dan nenek dangat terpukul. Rapi ibuku, adem ayem saja. Om dan bulikku tak kalah kecewa. Berhari-hari aku mengurung diri dikamar. Aku melihat diriku dicermin betapa hitam melebihi “monster”!. Astaghfirullah…
Ya Alloh, izinkan aku dating mengetuk pintu-MU. Lembutkanlah hatiku dari matinya hati. Semoga sebutir kesadaran yang terselip, menyeruak rimbun dalam iman yang setapak demi setapak tengah coba kurengkuh. Mohon ketetapan hati ya Alloh, agar hamba yang hina ini tak lagi berpaling dalam gelap.
Aku mulai menata hari-hariku kini. Tak lagi menegok kebelakang, karena itu membuat hatiku perih berdarah. Aku merasa nyaman “di duniaku” kini. Berada disekitar orang-orang yang shalihah dan rajin menuntut ilmu, dikelilingi orang yang menghidupkan Al-Quran dan Sunnah, diantara orang-orang yang merapatkan shaf dan bersegera dalam meraih kebaikan. Diujung sesalku, aku lahir sebagai orang yang merasa paling beruntung, aku harap ibu akan menyusulku nanti. Amin. (***)
Kisah seorang sahabat di Y, sykron atas curhat dan kepercayaannya.
Majalah as sakinah November 2010, hal 78.
0 komentar: