senja kini, masih saja menyisakan sepenggal kisah. Masih kuingat jelas kakak perempuanku pergi dengan cara pilu. Bila memngingat sikapnya selama ini pada ayah dan ibu juga suami bisa jadi ini balasan Allah untuknya.
Ya kakak sulungku memang bukan kakak yag bisa dijadikan teladan adik-adiknya. Kehadirannya dirumah, selalu membuat suasana rumah memanas. Seringkali, aku nyaris baku hantam dengannya, karena tak tahan melihat kelakuannya. Aku kerap tak sabar, melihat ia sering durhaka pada ibu dan ayah.
Suaminyapun tak bisa menghentikan sepak terjangnya. Pekerjaan iparku yang notabene PNS, masih dipandang sebelah mata. Aku sering iba juga malu padanya. Ia begitu sabar dengan sikap dan semua caci maki kakak. Ia juga jarang mendapatkan haknya sebagai suami. Justru iparku ini yang bangun lebih dulu untuk memasak nasi dan beberapa pekerjaan rumah tangga. Maknya, ibu sering meminta untuk tak mengerjakan semua itu, tapi ioarku justru menolaknya dengan halus.
Acapkali pula kata-kata maaf terucap atas semua sikap kakak. Hingga suatu ketika kakak iparku jatuh sakit kanker paru-paru. Bukanya merawat suami, kakak malah acu tak acuh. Ia membiarkan suaminya terlantar. Biaya rumah sakit dan berobat tak sedikitpun ia keluarkan untuk suami.
“Uang habis percuma untuk mengurus orag sakit! Mending untuk yang lain, lebih berguna”.
Kuingat jelas bapak sangat marah luar biasa.
“Malu bapak punya anak tak punya hati seperti kamu! Sedikitpun kamu tak menghargai dan berbelas kasih pada suami juga Orang Tuamu! Istighfar Wat, istighfar…” usai itu bapak sempoyongan rubuh.
Kamilah, termasuk ayah dan ibu yang bergantian merawat ipar. Aku tahu, betapa sangat baik iparku, ia sabar berbakti juga pada bapak dan ibu. Ia tak membedakan mana orang tua mana mertua. Di mata keluargaku, ipar sosok yang luar biasa. Ia sangat bertanggung jawab dan perngertian. Pribadi yang tek senang merepotkan orang lain dan senang membantu. Sayangnya kakak menyia-nyiakan anugerah ini. Bapak dan ibu jelas kecewa.
Iparku akhirnya pergi, setelah hamper tujuh ulan melawan sakit. Anak-anak yang sangat dekat dengan ayahnya, shock. Hamper sebulan tiga keponakanku mengurung diri dan tak mau sekolah. Kakakku justru tampak lega… Astaghfirullah.
Baru 4 hari ditinggal suami, kakakku sudah pergi kekantor seakan tak terjadi apa-apa. Seperti biasa ia berdandan menor. Ibu sempat menegurnya.
“Tidak pantas kamu seperti itu. Apa kamu tidak malu dengan sikapmu?”
“ibu tahu apa? Apa aku mesti sedih tiap hari atau ikut mati?”
“Wati, jaga mulutmu! Benar-benar tidak pantas kelakuanmu!”
Apa yang terjadi berikutnya? Kakakku menyiram ibu dengan air the di meja. Aku terlambat menahannya. Nayaris aku menamparnya, bila tak mendengar jeritan ibu. Ibu terpeleset air the yang membanjiri lantai hingga kepalnya membentur dinding. Alhamdulillah ibu taka apa-apa haya sedikit terkilir kaki. Kakakku tidak perduli. Dadaku merasa meledak menahan marah. Seperti biasa, ibu menangis nelangsa di pundakku.
Entah sampai kapan ibu san ayah mendapat perlakuan uruk dari putrinya. Kakakku tak sungkan memperlihatkan sikap buruk didepan orang lain. Hingga suatu saat ada pembeli diwarung. Ibu agak terlambat melayani, tanpa malu dan tanpa memperdulikan perasaan ibu, kakakku memarahi ibu. Usai pembeli pergi, kakak melemparkan anek dagangan warung ke kaki ibu, hingga ibu berteriak minta tolong. MasyaAllah minyak goring, terigu, terlihat berantakan dilantai. Kali ini keributan dengan kakak tak terhindar lagi. Aku menarik lengannya, memintanya untuk membersihkan warung. Tapi kakak justru menghinaku. Aku yang berusaha sabar, mau tak mau membela diri, saat kakak memukul dengan tongkat. Aku menghindar pergi, ia justru kalap. Ia ganti memaki ibu.
“itu anak yang ibu saying, taka da gunanya!” kakak malah sengaja menunjuk muka ibu dengan tongkat. Ibu terpaku melihat kelakuan kakak. Dan saat ia berbalik, kakak menginjak tumpahan minyak goring dan botol kecap. Tak hanya itu, entah bgaimana bisa, botol cuka penuh isi bisa tersenggol dan tumpah tepat dimatanya. Bukan menyebut asma Allah, ia justru memaki-maki ibu. Aku dan seluruh rumah menyaksikan bagaimana ia berguling kesakitan. Kami panic juga kasihan. Namun, tubuhnya terus bergerak seolah tak bisa dihentikan. Ia menabrak apa saja didepannya.
Ibu berteriak-teriak menyadarkan kakak.
“istighfar Wati. Berhentilah, ibu disini!”
Kakak tak perduli, sampai akhirnya ia mendekati kompor yang tengah dipakai memasak kuah bakso dagangan ayah. Niatnya ia tumpahkan memakai tongkat. Tapi, qodarullah, panic penuh kuah itumenghantam tembok dan berbalik tumpah ke tubuh kakak. Jeritan pilu memenuhi rumah. Seluruh keluarga panic, aku, ibu juga ayah menangis melihat keadaan kakak. Tubuhnya melepuh, hamper 80 %. Mukanya merah membengkak, sulit dikenali.
Tiga hari dirumah sakit, setiap kali sadar ia seperti orang kesetanan. Ia sulit diajak beristighfar. Ayah dan ibu tak sejenak beranjak dari doa untuknya. Kakak akhirnya pergi dengan akhir menyedihkan. Kami seperti melihat adzab nyata di depan mata. Hingga batas waktu habis, kakakku tak juga bertaubat. Sesuatu yang sangat berat bagi keluarga kami. Tapi kami menyadari semuanya, inilah takdir Allah untuknya. Semoga kami bisa belajar banyak dan mempertbal iman dengan kejadian itu. (***)
Majalahnikahsakinah vol.12 no.6 dzulqo’dah 1434
Di postkanolehaisybe;refresh you
Kisahnasehat: http://www.nase-hati.blogspot.com


0 komentar: