Bulan terlihat enggan muncul. Sedari tadi kulihat ia hanya
bersembunyi di balik awan. Hanya sesekali dia muncul. Hembus angin yang tak
ramah, membuat tubuhku harus berlindung di balik jaket. Sesekali masih kulempar
pandangan ke langit, berharap bias menatap bulan penuh. Hamun hingga kayuh
sepedah berakhir dirumah, ia masih saja bersembunyi.
Kulihat ibu masih diam khusyu’ di atas sajadah. Kuhela nafas
dalam istighfar. Keluarga kami memang tengah mendapat ujian berat dengan apa
yang terjadi pada kakak sulungku.
Bertahun-tahun kakak mengalami masa sulit dalam perjalanan hidupnya. Mulai dari
rumah tangga, bisnis, hingga kondisi jiwanya yang perlahan-lahan mulai menepi
pada dunia asing yang sunyi...
Sering tiap pagi
aku menyempatkan untuk menemaninya jalan-jalan. Kami berdua selalu menikmati
perjalanan itu. Melihat matahari terbit atau menerobos tingginya ilalang yang
mendesah tertiup angin. Tak jarang aku bercerita tentang banyak kejadian yang
aku alami seharian atau cerita kenangan masa kecil kami. Kulihat kakak yang ada
di sampingku, di atas kursi rodanya ia masig setia mendengarkan kisahku di
kesunyian jiwanya...
***
Wanita, tahta,
dan harta sungguh fotnah yang akan tetap ada sampai akhir dunia. Kakakku
menggenggamnya dan ia hancur di dalamnya. Ibu sudah menngingatkan agar kakak
berhati-hati dengan semua itu. Qodarullah, Alloh memudahakan kakak
meraih semua itu. Merangkak dari bawah, ia meniti semuanya. Sebenarnya tak
masalah semua itu. Sebab kami yakin ia bisa mengelola kesuksesannya dengan
bijak. Relasinya dengan banyak orang berjalan baik. Sampai pada akhirnya sampai
pada sebuah titik yang mengubahnya menjadi sosok ambisius yang tak terkendali.
Setiap mimpinya harus terwujud. Sosok wanita yang dipilihnya ibarat arah
langkah kakinya. Seluruh hidup kakak dinahkodai sang istri. Tapi anehnya kakak
selaru menurut tanpa kata. Mungkin kakak telah siap dengan konsekuensi
pilihannya, memang kami bisa melihat ada hal baik dari pernikahannya.
Semangatnya menjadi lebih luar biasa dalam bekerja. Setidaknya ada yang
membantu memikirkan usahanya. Terbukti usaha kakak makin menjadi...
Manusia takkan
pernah merasa puas dengan apa yang dimilliki. Ia dan istri terus mengembangkan
sayap usaha. Seribu sayang, mereka mulai menghalalkan segala cara. Tak lagi
melihat cara-cara ma’ruf. Aku akhirnya mundur dari usaha kakak. Aku
memang selama ini bekerja membantunya sebagai bendahara perusahaan. Namun
lama-lama nuraniku berontak dengan cara kakak. Sempat hal itu kusampaikan
padanya, tapi ia justru bersikap ketus.
“kamu tinggal
diam saja dan terima beres, kau tak usah pikirkan yang lain”.
Aku mendidih
dengan kata-katanya. Jawaban yang selalu sama kuterima dan akupun memutuskan
pergi dari perusahaan kakak. Ibu mengizinkan, meski sempat khawatir
meninggalkan kakak sendiri tanpa pantauan.
Perusahaan kakak
akhirnya terpuruk dan terlilit hutang. Di tengah badai bertubi-tubi, terkuak
lagi aib yang makin membuat kakak terpuruk. Ternyata istrinya melakukan
poliandri, tanpa setahu kakak. Hal itu membuat kakak histeris, ia membanting
apa saja yang ad di depannya. Sesaat kemudian ia lunglai di sudut kamar.
Pedihnya lagi, kakak menjadi begitu benci ketika melihat anak-anaknya yang
masih kecil. Ia menatap wajah bocah-bocah itu penuh selidik.
Sambil sesekali
berkata perlahan, “anak siapa kamu? Anak siapa kamu? Anak siapa akamu?”
kata-kata itu terus di ulang sambil berjalan kian kemari, hingga membuat
anak-anaknya menangis ketakutan. Ibu selalu setia membisikan istighfar di
telinga kakak dan menasehatinya.
“mereka
anak-anakmu Rid. Cucu ibu dan bapak. Mereka keponakan adik-adikmu. Mereka tak
tahu apa-apa. Mereka hanya anak-anak yang tanpa dosa. Jangan kau benci mereka,
jangan pula kau sakiti dirimu seperti ini. Ayolah oba kau lihat, mereka begitu
lucu dan manis.”
Sesekali kakak menangis dan mendekap mereka. Terkadang bisa terlihat bercanda bersama
anak-anak. Seungguh bahagia melihatnya. Dunia bisa dicari oleh siapapun, tapi
sebuah kebersamaan belum tentu bisa dimiliki semua orang. Kakak mencoba
berjuang menerima semua kegagalan dalam satu waktu. Sayang jiwanya tak pernah
bersiap untuk itu. Sesekali ia masih bisa tersenyum dan berkata “ini ayah.
Ini ayah, ayah akan menjaga kalian”. Dipeluknya erat boneka panda... Bila
sudah begitu, luruhlah airmata orang-orang di rumah...
Sekejappun kami
tak ingin kehilangan kakak. Kami selalu menganggap ia ada dan normal. Dengan
begitu kami berharap bisa membantunya kembali... Saat makan, saat acara
keluarga, saat sholat, kamu lakukan semua itu bersamanya. Sudah hampir dua
belas tahun kami melalui semua ini. Kabut hitam masih melingkup. Tapi kami
semua tak pernah kehilangn semangat untuk terus menembusnya. Beberapa waktu
lalu kami dibuat takjub. Setelah belasan tahun ia membisu dalam dunianya,
seusai shalat kakak berguman lirih. Ia menyebut nama ibu. Hanya itu, kemudian
ia membisu kembali. Kejutan itu sangat membuat keluarga kami bersemangat.
Setidaknya kami tahu, masih ada yang diingatnya dalam kesunyiaanya.
Semoga suatu saat
nanti Alloh menghadirkan matahari, agar kabut hitam ini menghilang...
(***)
Majalah sakinah
Volume 13, No. 4
0 komentar: